Saturday, October 1, 2011

Music Biz: Industri Musik, Apa Selanjutnya?

Artikel ini juga dimuat di Rollingstone.co.id dan Majalah RollingStone Indonesia edisi 78

Akhir Juli lalu sempat semarak berita bahwa 20 situs atau blog musik ternama akan ditutup oleh Kemenkominfo; tepatnya, para asosiasi pelaku industri musik yang tergabung dalam kampanye ’Heal Our Music’ telah melayangkan sebuah surat kepada Kemenkominfo, yang juga disebar kepada kantor-kantor media berita. Sampai penulisan artikel ini, belum terlihat ada tindakan apapun terhadap situs-situs yang tertera pada surat permintaan tersebut. Ini merupakan sebuah gejala zaman, yang memiliki akar sejarah yang cukup panjang.

Industri musik rekaman yang kita kenal sekarang berawal dari mulainya komersialisasi produk musik lewat piringan hitam. Musik yang ingin kita nikmati hanya bisa kita nikmati lewat pertunjukan langsung, dan pembelian piringan hitam (dan dalam gilirannya, kaset dan CD). Para pelaku industri musik rekaman memiliki kekuasaan cukup ketat terhadap distribusi musik, karena akses ke musik dibatasi pada sebuah produk fisik, berupa piringan hitam, kaset atau CD. Sebuah pola bisnis yang relatif sempurna terbentuk – sebuah struktur industri yang menjual beraneka ragam musik, dalam format dan harga yang relatif sama, yang dapat dipertahankan nyaris secara tak terhingga, selama tidak ada kondisi pasar yang bergeser.

Salah satu inovasi yang mengembangkan industri musik rekaman juga jadi salah satu penyebab besar industrinya secara relatif turun drastis. Musik dikemas dalam CD diperkenalkan ke publik pada tahun ’80-an, dan menawarkan kemurnian suara yang nyaris menandingi piringan hitam (bahkan, bedanya mungkin tidak dapat terdeteksi oleh sebagian banyak orang). Setelah meng-alami masa kaset yang memiliki beberapa keterbatasan teknologi, misalnya kalau terlalu lama didengarkan lagunya jadi ngageol kalau kata orang Sunda, CD memberikan sebuah pengalaman mendengarkan musik yang cukup konsisten, yang hanya akan dibatasi oleh perangkat audio yang digunakan. Dilengkapi dengan pola media dan berita yang pada zaman itu masih relatif tersentralisasi, promosi dan penjualan produk musik sangat berkembang. Zaman CD adalah zaman keemasan industri musik rekaman. Tapi pasar berubah.

Pertumbuhan pemakaian Personal Computer (PC) pada tahun ’90-an memicu industri perangkat lunak untuk makin berkembang – bukan saja oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Microsoft dan Apple, tapi juga pengembang-pengembang lunak independen dan open source – yang menemukan cara supaya isi CD Audio dapat disalin ke dalam komputer, dalam format MP3, yang semula dimaksudkan oleh Moving Picture Experts Group sebagai bagian dari protokol enkripsi video. Software pertama yang bisa membuat file format MP3 dikeluarkan oleh Fraunhofer Society pada tahun 1994, yang kemudian disusul oleh berdirinya website MP3.com untuk musisi-musisi independen, dan keluarnya WinAmp yang mempopulerkan MP3 sebagai format penyebaran musik, sampai akhir ’90-an. CD yang semula tidak mudah dibuat duplikatnya (dibandingkan dengan kaset yang sangat mudah diduplikasi dengan perangkat dubbing), ternyata dapat diduplikasi dengan mudah melalui perangkat lunak khusus dan CD writer, dan bahkan disalin isinya menjadi MP3 yang dapat disebar dengan mudah melalui Internet! Penyebaran penggunaan MP3 sebagai format musik pilihan seperti dikukuhkan oleh berdirinya Napster pada tahun 1999.

Model bisnis industri musik rekaman tergantung pada dua hal: penemuan (discovery) musik, kemudian kontrol akan akses konsumen terhadap musik tersebut. Dengan pengaruh besar pada TV, radio, koran dan majalah, termasuk majalah seperti Rolling Stone, para label musik dapat memperkenalkan musik baru atau artis baru secara baik dan terpola, dan nyaris memastikan bahwa lagu tersebut akan disukai oleh khalayak umum. Kalau begitu banyak media membicarakan artis atau lagu yang sama, pasti lagunya bagus atau enak, bukan? Setelah promosi dilakukan dengan cermat, konsumen digiring untuk memilih bagaimana caranya dia akan mengakses musiknya: menunggu lagunya diputar di radio, atau membeli piringan hitam, kaset, atau CD. Tur konser keliling dunia biasanya dilakukan untuk memastikan penjualan album bisa lebih tinggi.

Selanjutnya baca Majalah Rollingstone, edisi 78

No comments:

Post a Comment