Monday, August 17, 2009

#IndonesiaUnite, Kenapa Nasionalisme, Kenapa Sekarang?

Untuk beberapa kalangan, terutama di kalangan pengguna Twitter di Indonesia (dan terutama di Jakarta), gaung #indonesiaunite masih sangat terasa, dan bahkan sudah membuahkan berbagai kegiatan dan berpuncak pada pendeklarasian Amanat Bersama tanggal 16 Agustus kemarin. Kalau mau baca lebih rinci sih, lebih baik ke website indonesiaunite.com karena sudah cukup jelas.

Gerakan ini berpegang pada prinsip bahwa #indonesiaunite 'hanya' sebuah semangat, dan tidak akan diformalkan ke dalam sebuah organisasi atau struktur lain. Hal ini pernah juga saya bahas pada blog posting ini beberapa minggu lalu, yang pada intinya menekankan kekuatan #indonesiaunite terletak justru pada sifatnya yang crowdsourcing (belum ada padanan Bahasa Indonesianya nih) dan menyebar secara viral. Untuk yang memperhatikan, sangat terlihat bagaimana semangat #indonesiaunite menyebar secara viral ke berbagai kalangan.

Tapi masih banyak juga kalangan masyarakat yang tidak tahu-menahu mengenai gerakan ini, berhubung informasi mengenai #indonesiaunite praktis lebih banyak menyebar pada kalangan pengguna internet, yang notabene masih relatif belum banyak di Indonesia. Banyak juga kalangan yang tidak peduli karena lebih peduli ke hal lain, apapun itu. Ada juga pihak-pihak yang skeptis, mengatakan bahwa gerakan ini omong kosong belaka, atau mempertanyakan kenapa baru nasionalis setelah ada serangan bom. Bentuk nyatanya apa? tanya mereka.

Adapun kalangan yang baru belakangan tahu mengenai #indonesiaunite, dan pertanyaan mereka pertama adalah "siapa sih yang bikin?" yang agak sulit dijelaskan tanpa menjelaskan Twitter itu apa, ha ha. Pada awalnya pihak media pun masih salah kaprah dengan menilai bahwa #indonesiaunite adalah gagasan satu atau beberapa orang, bukan secara crowdsourcing (yang memang relatif baru di Indonesia). Tapi mudah-mudahan fakta penting mengenai #indonesiaunite ini akan menyebar seiring meningkatnya pemahaman orang mengenai media sosial seperti Twitter dan Facebook.

Nah, saya ingin mencoba memahami sekaligus menawarkan jawaban untuk kalangan-kalangan yang saya sebut di atas.

Generasi saya besar di masa Orde Baru, yang notabene penuh dengan doktrin-doktrin PMP dan P4 dan GBHN dan mahluk-mahluk singkatan hapalan lain, yang seolah disuntikkan ke dalam kepala kita sejak SD. Karena memang pola pendidikannya doktrin, bukan pemahaman, jadi banyak dari kita seolah menolak pendidikan ini. Masuk kuping kiri, keluar kuping kanan, yang mungkin berlaku untuk hampir semua mata pelajaran lain selama SD sampai SMA. Kuncinya di sini: karena PMP dan P4 esensinya sangat kuat pada cinta bangsa dan negara, jadi ada bagian dari kita seolah-olah menolak untuk merasakan hal ini. Efeknya? Kalau ada orang yang beneran cinta bangsa dan negara, dianggap aneh. Ada juga hal lain yang penting dalam P4 yang seperti 'ditolak' oleh kita: menghargai hasil karya orang lain.

Padahal sebenarnya, rakyat kita cinta bangsa dan negara kok. Tapi terkadang malu mengungkapkan, kecuali dalam perayaan 17 Agustus, dalam bentuk menjadi panitia atau semacamnya - atau hal-hal kecil lain. Begitu ada yang bicara soal negara, otomatis dianggap mau berpolitik, baik itu di masa Orde Baru maupun setelahnya. Hampir-hampir, kita sampai pada sebuah situasi di mana orang yang terlihat cinta bangsa dan negara hanya para politikus (yang mungkin saja lebih cinta kepentingan kelompoknya), dan para atlit nasional dan daerah (pahlawan modern tanpa tanda jasa).

Susahnya lagi, perseteruan tingkat atas politik dan pemerintahan soal negara membuat makin banyak orang kehilangan kepercayaan terhadap negara, terlebih lagi dengan adanya stigma bahwa pemerintah tidak melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik (yang mungkin adalah pendapat subyektif, karena terkadang yang kita lihat hanya jeleknya saja).

Lagi-lagi, tetap saja, rakyat Indonesia cinta bangsa kok. Negara mungkin nomer dua. Cuma karena masih ada persepsi bahwa membicarakan bangsa atau negara adalah hal yang sama, lantas pembicaraan nasionalis cenderung terbungkam, terutama dengan naiknya konteks-konteks berbau agama dalam wacana pemikiran nasional. Ini adalah strike three, kalau meminjam istilah baseball - nasionalis dianggap sekular, yang dalam persepsi banyak orang Indonesia, berarti tidak beragama (padahal berarti pemisahan urusan negara dan agama belaka). Padahal, sebagai negara yang 99,99% penduduknya memeluk agama, kita tetap bisa nasionalis tanpa melupakan agama.

Terkena tiga kali sekalipun, rakyat kita masih ada yang berjiwa nasionalis - pahlawan tanpa tanda jasa yang lain adalah generasi entrepreneur - apapun bidangnya - yang dengan caranya sendiri memajukan Indonesia, langkah demi langkah.

Serangan bom demi serangan bom terjadi di Indonesia, yang membuat banyak rakyat bingung dan marah. Ya, betul, pada tiap serangan bom yang sebelum 17 Juli 2009, rakyat Indonesia bingung dan marah, hanya saja energi kemarahan itu seperti ditelan masing-masing, hanya terungkap lewat berbagai tulisan dan karya, yang tidak terhubung.

Bedanya dengan kejadian tahun ini? 4 tahun lalu, Twitter bahkan belum ada. Belum ada istilah Social Media, dan orang masih sibuk mengumpulkan testimonial Friendster. Di tahun 2009, media Twitter menjadi penghubung berbagai orang dari berbagai kalangan yang mengungkapkan kekecewaan dan kemarahan atas serangan 17 Juli 2009. Dan dari media ini, muncul semangat bersama-sama untuk menjadikan Indonesia lebih baik - dan menyatakan Tidak Takut pada aksi terorisme - dalam bentuk #indonesiaunite.

Jadi jawaban judul artikel ini, kenapa nasionalisme, kenapa sekarang apa? Jawabannya adalah: nasionalisme sudah ada dari dulu, tapi tidak bisa keluar. Karena terpancing kemarahan, semangat melawan terorisme dan semangat membuat Indonesia lebih baik, para pengguna Twitter ini menemukan bahwa ternyata banyak yang memiliki semangat yang sama, sehingga lahirlah #indonesiaunite.

Dan timbullah sesuatu yang mungkin sangat unik di Indonesia, mungkin di dunia - sebuah semangat tanpa organisasi, yang bebas diterjemahkan oleh para pendukungnya sejauh sesuai semangat yang sudah dituangkan dalam Amanat Bersama. Semangat yang sengaja tanpa organisasi supaya dapat inklusif ke berbagai pihak, dan sebuah gerakan yang relatif tanpa pemimpin dan tokoh supaya dapat melintasi batas-batas idealisme dan ego masing-masing orang.

Jadi untuk yang belum tahu soal #indonesiaunite, mungkin tidak terlalu penting untuk tahu, sejauh semangatnya sama.
Untuk yang tidak peduli, sekarang saatnya untuk peduli! Masa depan bangsa ini tidak ditentukan oleh pemerintah. Kita yang menentukan.
Untuk yang skeptis, jangan malu untuk merasakan cinta bangsa dan negara.
Dan untuk yang masih belum sepenuhnya memahami esensi #indonesiaunite, mudah-mudahan artikel ini bisa membantu. Untuk "ikut" #indonesiaunite, tidak perlu daftar apa, ke sekretariat apa, atau apapun yang lain. Tinggal berkarya untuk Indonesia.

Selamat berjuang!

Sunday, August 2, 2009

Pekerjaan, Kepuasan, dan Kesetimbangan

Belakangan gue banyak ngobrol sama Saskia, dan banyak temen-temen gue, untuk mencoba meluruskan segala benang kusut yang udah menumpuk di hati dan otak beberapa tahun ini. Memang, hidup di Jakarta - atau mungkin, hidup di mana aja jaman sekarang - lebih banyak chaosnya ketimbang yang teratur.. ya paling tidak untuk gue sendiri.

Tapi ya ternyata beberapa teman baik yang gue ajak ngobrol, sedang mengalami hal-hal yang kurang lebih sama dengan yang gue alami sekarang - kebanyakan kerjaan, kepuasan yang didapatkan dari pekerjaan berkurang, semangat turun - yang pastinya akan merembet ke hal-hal lain dan mempengaruhi kinerja.

Paling tidak sih gue agak terhibur karena ternyata bukan gue yang menjadi gila, tapi memang gejala jaman aja kali ya, terutama buat temen-temen dalam situasi yang hampir sama dengan gue.

Bertahun-tahun lalu gue pernah bilang ke sahabat gue, bahwa kerja ya kerja aja, karena kerja bukan hidup. Nggak usah cari kerjaan yang bener-bener ideal dengan keinginan kita, karena yang pertama pasti susah dapet yang bener-bener pas, kedua ya, hidup nggak kerja doang kok - jadi pastiin apa yang lu kerjain bisa melengkapi hidup lu.

Gue tarik balik sedikit deh perkataan itu ya. Kalau kita sudah sampai pada tingkatan tertentu di pekerjaan, bisa itu gaji cukup atau kedudukan/tanggung jawab sesuai keinginan, ternyata nanti ada satu hal lagi yang bisa 'menghancurkan' dua hal itu: kepuasan bekerja. The passion for work, job satisfaction. Atau malah, satisfaction aja.

Yang kita cari tuh apa sih sebenernya dengan bekerja? Biar bisa bawa pulang uang, yang nanti akan dipakai untuk beli ini-itu? Percaya deh, mau gaji berapapun, pasti ada aja kurangnya, nggak bisa ini lah, nggak bisa itu lah. Nggak bisa ganti HP, nggak bisa liburan ke Singapur, nggak bisa makan sushi, nggak bisa beli baju baru.... kita udah terpola konsumtif, jadi pasti adaaa aja yang tidak terpenuhi. Padahal sisi konsumtif itu untuk apa sih? Pastinya, untuk kepuasan diri juga.

Setelah proses yang gue lalui bertahun-tahun, gue punya kesimpulan ini untuk diri sendiri: kerjakan apapun yang memberi kepuasan pada diri lu, tapi pastinya, lu harus tau definisinya kepuasan itu apa pada diri lu. Apa itu perut kenyang tiap malam? Bisa punya BB? Anak bisa sekolah sampai lulus kuliah? Perdamaian dunia? Itu aja didefinisikan dulu. Buat gue sendiri aja itu cukup susah, dan gue yakin masih banyak yang masih sulit mendefinisikan kepuasannya sendiri tanpa terganggu oleh berbagai faktor external.

Nah, kalau udah tau dapat kepuasan dari mana, baru bisa tuh, disusun lagi dari awal, bagian-bagian puzzle yang menjadi hidup kita. Kerjanya apa, hobinya apa, hidup di rumah kayak apa, dan bagaimana menyeimbangkan itu semua. Bukan proses gampang; tapi kalau kita sudah mengenali kebutuhan akan kesetimbangan itu, pasti lebih mudah. Gue sendiri pelan-pelan masih di tahap awal. Pokoknya, prinsipnya adalah, hidup kita adalah sebuah lingkaran utuh; tinggal kita atur porsi-porsinya di dalam lingkaran itu. Kalau ada yang kebanyakan, nanti yang lain berkurang, atau malah merusak bentuk lingkaran tersebut.

Nah, paling mudah dan ideal adalah, bekerja sesuai passion kita, kalau mau lingkaran itu penuh. Tergantung juga sih, definisi kepuasan tadi apa ya.

Mundur sedikit ya. Gue sendiri, dan mungkin temen-temen gue yang gue ajak ngobrol, mengalami beban luar biasa dan kejenuhan dan berbagai gejala lain, yang, terlepas dari faktor external, disebabkan oleh kurang mendapat kepuasan bekerja. Akarnya di situ.

Pilihannya cuma tiga:
1. kurangi ekspektasi kita akan kepuasan di pekerjaan tersebut. Tapi ini yang membuat banyak orang menjadi 'zombie' di pekerjaannya.
2. cari jalan keluar, supaya kepuasan bekerjanya bisa meningkat.
3. kalo mentok juga, ya cari kerjaan lain... tapi jangan sampai terjebak di lingkaran setan yang sama.

Perlu diingat juga, prioritas kita dalam hidup itu pasti sewaktu-waktu berubah, karena toh kita pasti tumbuh dan berubah. Maka dari itu, definisi kepuasannya juga pasti perlu diteliti lagi sewaktu-waktu, supaya kesetimbangan hidup tetap terjaga.

Perjuangan hidup terbesar sepertinya menjaga kesetimbangan itu terus ya, terutama dengan berbagai faktor external yang positif dan negatif yang pasti akan 'mengganggu' dengan caranya sendiri.

Untuk saat ini, kepuasan gue bisa didapat dari:
- berkreasi, dan melihat kreasi itu jadi kenyataan. apapun bentuknya
- manfaat, di luar manfaat finansial seperti gaji, bonus dll. Lebih ke pekerjaannya ada manfaatnya untuk orang lain, bisa itu keluarga, bisa itu bangsa atau negara, ataupun diri sendiri.
- amal. tabungan duniawi dapet kalau bekerja keras dan pintar, tapi gimana caranya tabungan surgawi juga dapet? Gue bukan santri atau orang yang cenderung agamis, tapi karena gue percaya kerja itu ibadah, mbok ya kerjaan gue emang beneran punya nilai amal. Kalau kerja adalah ibadah tapi buat dapetin pahala doang, kok egois ya rasanya.

Satu lagi pemikiran yang keluar: karena kerjaan itu ibadah, kita harus kerja dengan hati senang, kalo nggak, nilai ibadahnya berkurang.

Gue menulis ini bukan sok-sokan ngasih nasihat atau apa, tapi mencoba menulis apa yang sudah menjadi pikiran gue beberapa bulan ini - mudah-mudahan bermanfaat juga ke orang lain.